Puncak Keberanian

Lawan sifat berani (syaja’ah) adalah jubun (al Jubn), yaitu penakut. Takut kalah, takut rugi, takut gagal, takut perang, takut mati, takut dihukum, takut tidak dihargai, takut menyampaikan kebenaran, dan ketakutan-ketakutan lainnya.

Tipelogi jubun termasuk di antara sifat tercela. Sifat seseorang yang ketakutannya didominasi oleh nafsu kesenangan duniawi. Sedangkan Allah, yang menciptakan dan memberinya banyak kenikmatan, tidak ditak

Lawan sifat berani (syaja’ah) adalah jubun (al Jubn), yaitu penakut. Takut kalah, takut rugi, takut gagal, takut perang, takut mati, takut dihukum, takut tidak dihargai, takut menyampaikan kebenaran, dan ketakutan-ketakutan lainnya.

Tipelogi jubun termasuk di antara sifat tercela. Sifat seseorang yang ketakutannya didominasi oleh nafsu kesenangan duniawi. Sedangkan Allah, yang menciptakan dan memberinya banyak kenikmatan, tidak ditakuti.

Sifat penakut seperti ini akan menjadi halangan dan hambatan untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan. Dan, jika sifat ini dipelihara dan menjadi karakteristik, niscaya mendatangkan kerugian, bahkan kebinasaan.

Banyak orang yang bermental penakut. Apalagi, pada era yang serbainstan, pragmatis, dan materialistis seperti sekarang ini. Keberanian seseorang, terutama para pejabat atau pemimpin, begitu banyak yang mudah tergadaikan oleh suasana kehidupan duniawi yang melalaikan.

Lebih-lebih, kalau sudah merasa berutang budi, disuap, atau dibayar, keberaniannya untuk mengungkap kebenaran atau keadilan nyaris tidak ada atau hilang sama sekali. Karena diliputi kebingungan, situasi yang tak tentu arah dan merasa tersandera. Merasa galau, bagaikan kucing kehilangan anaknya.

Padahal, di tengah dekadensi moral atau kezaliman yang makin kompleks dan masif, umat dan bangsa ini selalu merindukan figur orang-orang yang mempunyai keberanian. Tak terkecuali, orang-orang yang memang mendapat mandat kepemimpinan. Sehingga, umat dan bangsa ini dapat terlepas dan terhindar dari berbagai belenggu kezaliman yang membawa kesulitan dan penderitaan.

Berani  bukanlah dalam arti siap berkorban lalu melakukan perlawanan kepada siapa saja tanpa mempertimbangkan sisi baik dan buruknya. Apakah ia berada dalam posisi yang benar atau salah, seperti aksi-aksi teror, bom bunuh diri, atau ikut-ikutan berperang yang tidak jelas orientasi dan tujuannya.

Bukan pula keberanian yang didramatisasi atau karena semata-mata dorongan luapan kebencian, marah, dendam, dan hawa nafsu lainnya. Misalnya, berani melempar tuduhan tanpa bukti yang benar, berani menciduk orang sembarangan, berani menyatakan persaksian palsu di persidangan, dan seumpamanya.

Tidak lain, sikap berani yang dibenarkan oleh syara, yaitu keberanian yang dibangun atas dasar iman dan kebenaran serta dilakukan dengan penuh pertimbangan yang akurat dan terukur. Potensi sifat keberanian yang dimiliki dijadikan sebagai kekuatan dan amunisi untuk menyampaikan kebenaran, keadilan, dan kemaslahatan publik.

Berani mengatakan kebenaran, meskipun di hadapan penguasa atau pejabat yang melakukan perbuatan yang diketahui melanggar hukum atau melalaikan janji dan amanahnya. Lebih bagus lagi, berani mengaku atas kesalahan dirinya sendiri, yang disertai penyesalan dan bertekad untuk tidak mengulangi kesalahannya tersebut. Atau berani bertobat.

Ciri dan sumber utama keberanian seorang mukmin adalah keimanan dan takut kepada Allah. Mentalitas dan mindset-nya kuat bahwa dia tidak merasa takut kepada siapa pun selain hanya kepada Allah. Cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan (QS Al Ahzab [33]:39) dan cukuplah Allah menjadi Penolongnya karena Dialah sebaik-baik Pelindung. (QS Ali Imran [3]:173).

Selain itu, konsistensi atau sifat istiqamah di jalan yang benar menjadi faktor esensial dalam menumbuhkan keberanian pada diri setiap mukmin. Sehingga, dia tidak merasa segan dan takut untuk mengatakan kebenaran dan kebatilan. Salah dikatakan salah, benar dikatakan benar.

Demikian juga, dia tidak takut mati, apalagi mati di medan pertempuran (jihad) di jalan Allah. Bahkan, kematian di medan perang untuk membela agama Allah atau tanah air, seperti dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya menjadi sesuatu yang didambakan. Sebagaimana pernyataannya Panglima Khalid Ibn Walid kepada pasukan Romawi, “Kami datang dengan pasukan yang mencintai kematian, sebagaimana kalian mencintai kehidupan.”

Puncak keberanian seperti ini biasanya sulit untuk diajak kompromi. Maknanya, keberaniannya sudah mengkristal dan menjadi sebuah mentalitas yang tidak bisa dibayar atau disogok dengan materi apa pun, termasuk dengan jumlah uang yang menggiurkan. Itulah sifat keberanian yang dilandasi nilai-nilai spritualitas dan moralitas. Wallahu Al Musta’an.

About Miswan M.Pd

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *