Rasulullah saw merupakan pemimpin agama Islam sekaligus pemerintahan. Ia memiliki keberanian dalam menegakkan agama Allah dan kebatilan. Mengapa Rasulullah sangat berani dan apa tujuan keberaniannya?
Ahmad Muhammad al-Hufy dalam bukunya Akhlak Nabi Muhammad Saw menerangkan keberanian yang ditunjukkan Rasulullah mempunyai tujuan. Rasulullah ingin membela kalimat Allah, membela kemurnian tauhid, membela Islam dari musuh atau orang musyrik dan membebaskan manusia dari belenggu syirik. Selain itu keberanian Rasulullah bertujuan menghilangkan perbudakan memberantas akidah sesat, kerusakan aklak dan menggantinya dengan paling murni.
Di samping itu, Rasulullah berani dalam menegakkan tata negara yang baik. Termasuk agar pergaulan masyarakat sesuai dengan ajaran agama. Menurut Ahmad, keberanian Rasulullah bukan untuk menunjukkan kekuasaan, kesombongan, dan kemegahan. Melainkan demi membela kebenaran.
Tujuan keberanian yang ditunjukkan Rasulullah tersebut patut ditiru oleh pemimpin saat ini. Khususnya Indonesia yang sedang dalam proses menuju pemilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden 14 Februari 2024. Tiga calon pasangan yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD sedang mengkampanyekan visi dan misinya ke masyarakat.
Sebagai calon pemimpin maka keberanian harus dimiliki. Calon pemimpin wajib berani membela kebenaran agar tata negara dan masyarakat berlangsung dengan aman dan tertib. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh keberanian Rasulullah.
Suatu waktu ada orang Arab datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, ada orang berperang karena kebanggaan ada pula agar dianggap berani, ada pula agar kedudukannya tampak di jalan Allah.” Rasulullah saw menjawab, “Barangsiapa berperang untuk menegakkan kalimat Allah, orang itulah yang dinamakan berperang di jalan Allah.”
Allah dalam beberapa firmannya memberikan rambu-rambu penting yang wajib dijalankan oleu seorang pemimpin. Seperti dalam surah Shad ayat 26 yang berbunyi:
يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۢبِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِ ࣖ
Yā dāwūdu innā ja‘alnāka khalīfatan fil-arḍi faḥkum bainan nāsi bil-ḥaqqi wa lā tattabi‘il-hawā fa yuḍillaka ‘an sabīlillāh(i), innal-lażīna yaḍillūna ‘an sabīlillāhi lahum ‘ażābun syadīdum bimā nasū yaumal-ḥisāb(i).
(Allah berfirman,) “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.”
Tafsir tahlili dalam Quran Kemenag menerangkan maksud dari ayat tersebut. Allah memerintahkan Nabi Daud agar memimpin dengan berpegang teguh sesuai perintah Allah dan yang di ridhai-Nya. Nabi Daud harus tidak memutuskan sesuatu berdasarkan hawa nafsu dan harus berbuat adil.