الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ، وَفَضَّلَهُ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ بِالْإِنْعَامِ وَالتَّكْرِيْمِ، فَإِنِ اسْتَقَامَ عَلى طَاعَةِ اللهِ اسْتَمَرَّ لَهُ هذَا التَّفْضِيْلُ فِي جَنَّاتِ النَّعِيْمِ، وَإِلاَّ رُدَّ فِي الْهَوَانِ وَالْعَذَابِ الْأَلِيْمِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَهُوَ الْخَلاَّقُ الْعَلِيْمِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ شَهِدَ لَهُ رَبُّهُ بِقَوْلِهِ: {وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيْمِ} صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ سَارُوْا عَلَى النَّهْجِ القَوِيْمِ وَالصِّرَاطِ المُسْتَقِيْمِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْرًا،
أَمَّا بَعْدُ:
Suatu hari, Abdullah atau ‘Amr bin Qais datang menemui nabi SAW. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Ummi Maktum. Ia berbeda dari para sahabat yang lainnya, ia adalah seorang yang buta, meskipun demikian semangat dan keteguhannya dalam mencari kebenaran sangatlah besar.
Kedatangannya dalam rangka mencari ilmu dan hikmah dari Rasulullah SAW. Namun, hari itu ia justru mendapatkan sebaliknya. Berulang kali ia memohon kepada Nabi. “Wahai nabi Allah, berilah aku petunjuk, berilah aku pelajaran, tunjukilah aku tentang suatu hal yang bermanfaat.” Namun sedikit pun nabi tidak menghiraukannya.
Ketika itu, Nabi SAW sedang berbincang-bincang dengan pembesar Quraisy. Ketika ia terus mendesak, nabi malah menampilkan raut wajah ketidaksukaan terhadap sikap Ummi Maktum.
Nabi merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Sebab, kala itu Nabi SAW sedang melakukan lobi terhadap pembesar Quraisy dan mengajak mereka masuk Islam. Harapannya, bila pemimpin Quraisy itu bergabung, maka akan lebih mudah mengajak kaumnya untuk memeluk Islam.
Namun, perilaku nabi itu justru mendapat teguran langsung dari Allah SWT. Sebab, perbuatan itu terlalu berlebihan, karena dengan jelas orang buta yang datang kepadanya benar-benar tulus untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tentang agama. Lihat QS ‘Abasa [80]: 1-10.
Ada beberapa hal penting yang dapat dijadikan pelajaran dari kisah tersebut. Pertama, jangan sekali-kali kita merendahkan seseorang berdasarkan status dan keadaannya. Karena semua manusia adalah sama dalam pandangan Allah, hanya tingkatan takwa yang membedakan mereka satu dengan yang lainnya
Begitu juga sebaliknya, kita hendaknya tidak tertipu dengan keadaan lahir seseorang. Meskipun ia orang yang berkecukupan, bergelimang harta, jabatan, memilki kedudukan terhormat, belum tentu orang tersebut bersedia untuk diajak bekerja sama demi kepentingan dan kemaslahatan orang banyak.
Kedua, semangat dan ketulusan merupakan standar utama untuk mendapatkan petunjuk dan rahmat dari Allah. Bukan banyak atau sedikitnya harta yang kita miliki. Ketiga, semua kita mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dalam ber dakwah dan mendapatkan pengajaran agama.
Secara tidak langsung ayat dan kisah di atas mengingatkan kepada kita semua bahwa dalam menyampaikan dakwah hendaknya tidak tebang pilih. Karena dakwah adalah kewajiban, bukan profesi.
Lebih tepatnya lagi, setiap umat Islam tidak boleh menjadikan dakwah sebagai sarana untuk mengais rezeki, sehingga meninggalkan dakwah kepada kaum dhuafa dan lebih mendahulukan dakwah di kalangan para elite bangsawan, dengan harapan honor yang lebih besar.
Bila dakwah telah disalahartikan, bagaimana dengan kualitas materi yang akan di dakwahkan? Sungguh Islam adalah agama kebajikan, ia ditegakkan dengan dakwah, bukan dengan komersialisasi dakwah. Wallahu a’lam