Karakter Buah Duku dalam prespektif Islam

Gambar buah duku yang masih di pohon. (Gambar: indoindians.com)

Di musim-musim tertentu kita akan sering melihat buah duku di pinggir jalan. Sangat menarik untuk dibeli dan dimakan. Rasanya yang manis asam, sering membuat kita ketagihan. Asyik buat cemilan. Buah duku, dikenal sebagai Lansium parasiticum, adalah masuk keluarga Meliaceae. Tergolong dalam spesies pohon keluarga Mahoni

Buah khas di wilayah Asia Tenggara ini kaya dengan khasiat, misalnya menjadi sumber antioksidan, mencegah penuaan diri, menguatkan gigi, menjaga kesehatan gusi, meningkatkan sistem imun, menurunkan berat badan, dan melancarkan sistem pencernaan.

Namun, di balik manfaatnya yang beragam tersebut, buah duku sering kali hanya mengandalkan cover, casing, dan penampilan luarnya saja. Ya, ketika buah itu baru dipetik dari po honnya, atau ketika kulitnya masih berwarna kuning, dengan “penuh percaya diri” dia memasang tarif yang mahal kepada pembelinya.

Begitu berselang tiga hari, ketika kulitnya sudah mulai menghitam, hilanglah “kepercayaan diri nya” dan harganya langsung terjun bebas hing ga 50 persen. Padahal, isinya masih utuh dan rasanya tetap nikmat seperti sebelumnya.

Karakter seperti buah duku ini, yang hanya mengandalkan penampilan luar seraya melupakan dan mengabaikan isi, masih banyak ditemui di tengah masyarakat. Bukankah sering kita dengar, banyak orang yang begitu mudah menggelontorkan jutaan, bahkan ratusan juta, hanya untuk biaya make up, fashion, dan memenuhi gaya hidup. Dalam kadar tertentu, hal itulah yang menyeret seseorang untuk menghalalkan segala macam cara dalam usahanya.

Gaya hidup yang hanya bertumpu pada aspek lahiriah dan sangat artifisial ini tidak hanya menipu diri pelakunya, tetapi juga membuat ba nyak orang terkecoh.

Alih-alih mengejar sim pati banyak orang, justru antipati yang didulang. Se bab, kekuatan dan kehebatan seseorang bu kan pa da aspek luarnya belaka, justru yang terpen ting ada lah pada isinya, hatinya, atau keikhlasannya.

Inilah narasi yang pernah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Sahl. Seseorang le wat di hadapan Rasulullah SAW. Maka beliau pun bertanya kepada sahabatnya, “Bagaimana pen dapat kalian tentang orang ini?” Mereka menja wab, “Ia begitu berwibawa. Jika ia meminang, pasti diterima; jika ia memberi perlindungan, pasti dipenuhi; dan jika ia berbicara, niscaya didengar.”

Rasulullah terdiam. Lalu, seorang dari kalangan fakir kaum Muslimin melintas dan Nabi pun kembali bertanya, “Bagaimana pendapat kalian tentang orang ini?” Mereka menjawab, “Orang ini, bila ia meminang, pantas ditolak; jika memberi perlindungan, tidak akan digubris; dan jika berbicara, tidak akan didengar.”

Rasulullah SAW pun bersabda, “Sesung guhnya orang ini lebih baik daripada seluruh kekayaan dunia orang yang pertama (tadi).” Rupanya gaya hidup yang hanya mengandalkan cover dan casing ini mengakibatkan banyak orang tertipu, bahkan sejak era Nabi.

Ibnu Taimiyah berkata, “Orang yang berakal adalah melihat pada hakikat (sesuatu), tidak pada zahirnya belaka.” Sedangkan, dari sisi sang pelaku, ia harus terus-menerus memper baiki niat dan getaran hatinya dari waktu ke waktu. Yahya bin Abi Katsir berujar: “Belajarlah kalian tentang niat, karena ia lebih berat daripada amal.”

Semoga bermanfaat

About Miswan M.Pd

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *