Alhamdulillah, kita sudah hampir masuk bulan Dzulhijah 1443 H. Sebagian jamaah calon haji telah sampai ke Tanah Suci, Makkah dan Madinah Al-Munawwarah. Keharuan selalu menyelimuti setiap kali melepas tamu-tamu Allah SWT. Sungguh, mengunjungi Baitullah dan makam Nabi Muhammad SAW adalah karunia yang tiada terhingga. Semoga kita diberi kesempatan bisa menunaikan haji untuk berziarah kemakam Rosulullah SAW, Amiin Yra.
Sejatinya niat yang tulus harus tertanam di lubuk kalbu setiap jama’ah. “Labbaik allahumma labbaik” (Ya Rabb, hamba datang memenuhi panggilan-Mu). “… (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam” (QS Ali ‘Imran [3]: 97).
Dalam Tafsir Ringkas Al-Qur`anul Karim Kemenag dijelaskan bahwa kriteria Istarho’a (mampu) adalah minimal memiliki beberapa kesanggupan diantaranya sanggup perbekalan, alat transportasi, sehat jasmani, perjalanan aman, dan keluarga yang ditinggalkan terjamin kehidupannya. Oleh karena itu, bagi jama’ah yang belum bisa berangkat jangan terlalu bersedih, apalagi putus asa. Terus berdoa, dan berikhtiar kiranya diberi kesempatan sebelum ajal menjemput.
Prof KH Didin Hafidhuddin dalam buku Membangun Kemandirian Umat menegaskan bahwa haji merupakan puncak ibadah dan syiar Islam yang luar biasa. Dimensi ibadah haji yang perlu dipahami, di samping pada ritual manasiknya, juga hal-hal yang bersifat substansial, hakikat dan pesan dari ibadah yang diperintahkan Allah kepada manusia. Karena sejatinya kemabruran haji wajib diupayakan dan dijaga sepanjang hidup. Pascahaji, seorang Muslim ditutut untuk berubah menjadi lebih baik dan agen perubahan di lingkungannya”.
Jika ditilik lebih dalam, seorang jamaah haji ibarat handphone yang terdiri atas perangkat keras (hardware) dan lunak (software). Setidaknya ada empat perangkat yang diperlukan agar komunikasi terjalin dengan baik, yakni:
Pertama, baterai, yakni energi yang memberikan daya agar handphone bisa hidup. Artinya, seorang yang berhaji perlu baterai, yakni iman (tauhid) yang kuat agar makna hidupnya jelas dan terarah.
Kedua, pulsa, yakni dana yang digunakan untuk membiayai jaringan komunikasi. Artinya, seorang jamaah haji perlu harta dari hasil usaha yang halal untuk membayar ongkos atau keperluan ibadah selama di Tanah Suci.
Ketiga, nomor tujuan, yakni rangkaian angka tertentu yang telah diatur sedemikian rupa. Artinya, seorang jamaah haji mesti paham cara beribadah (shalat) yang benar, baik fardhu maupun nawafil sesuai waktunya.
Keempat, sinyal, yakni getaran elektrik yang dihubungkan melalui perangkat khusus. Artinya, seorang yang berhaji harus mendekati tower utama, yakni Baitullah agar mendapat sinyal Ilahiyah. Walaupun baterai full, pulsa cukup, dan nomor tujuan jelas, tapi sinyal tak dapat, komunikasi dengan Allah SWT akan terganggu.
Akhirnya, seorang yang berhaji seperti mencari sinyal Ilahiyah. Untuk itu, harus dibekali iman, harta, dan ilmu agar meraih kemabruran (QS al-Baqarah[2]: 197). Setelah kembali ke Tanah Air jangan kehilangan sinyal Ilahiyah. Sebab, ada tower transmisi, yakni masjid, majelis para ulama, dan rintihan kaum dhuafa.
Allahu a’lam bishawab.