Kegiatan Moderasi Beragama Bid. Pakis DKI Jakarta

Jakarta, 11 Oktober 2022,  kanwil kementerian Agama telah mangadakan kegiatan, moderasi beragama,  karena DKI Jakarta merupakan barometer kerukunan di Indonesia mulai Sabang hingga Marauke. Dan ini juga berdampak pada seluruh Provinsi. “Dimana jika kita melihat sejarah, Provinsi yang terjadi letupan DKI selalu menjadi pusat perhatian. Kegiatan ini dapat merajut Kebhinekaan antar umat beragama khususnya di DKI Jakarta agar terwujud kedamaian, Torelansi antar umat beragama. untuk memberikan pemahaman Islam yang wasatiyah dan rohmatal lil’alamin maka dengan dasar tersebut kegiatan moderasi beragama diadakan. kegiatan ini telah dilaksanakan  pada tanggal 10 -11 Oktober 2022, di Jl. MT. Haryono Sentral Cawang no.9 Jakarta Timur.

Kegiatan ini adalah di ketuwai oleh bapak Dadi, selaku kasi KKG di kanwil DKI Jakarta dibantu oleh beberapa staff dari kanwil DKI Jakarta,  berdarkaan surat undangan peserta nomor: B.11.595/Kw.09.3/PP.00.8/10/2022,  tentang sosialisasi moderasi beragama dihadiri kurang lebih 33 panitia dan peserta.  Dari bidang Pakis 10 orang ( Wirdaningsih, Supraptiko, Agung Purnama, Hafiz Kurniawan, M. faesol,  Rizkqi Fardiansyah, Anang Setiawan, Rhamat Hidayat, Nurnaningsih, Rully Iskandar, MGMP PAI SMK 1 orang ( Miswan/SMK N 22 Jakarta), MGMP PAI SMA 1 Orang (Rois hidayat/SMA N 48 Jakarta), pengawas PAI Jakarta H. Zaenal,  ketua FKPP DPW Prov. DKI Jakarta ( H. TB. Masnun) Ponspes Ar Rofii (M.  Abdul Jabar,  RMI Prov. DKI  Jakarta (Abdul Gholib dan  Ayatullah Muahmmad Ali, S.Pd.i FKG TK (Efrida Hanum),KKG SD (Cut Annisa), MGMP SMP ( Jarkasih) Ketua DPW  FKPQ Prov DKI Jakarta (Ade Sayefuddin) DPW FKPQ Prov. DKI Jakarta (Khoiriyah0,  DPD FKPQ Prov, Jakarta  barat, timur DAN  selatan 3 orang ( Mustofa, Daenuri, Nurjamal) DPD FKDT Kota Jakarta  pusat,utara,  selatan, timur, barat 5 orang (Khaerudin, deden Daenauri, Nesi, Samaun Hanani, Subhan) satuan Pendidikan Muadalah (Ahmad Mufid), Pend. Kesetaraan Ponpes salafiyah (Abdul Basith Basyamhah,lc), dan Pendidikan Diniyah Formal (Akbar Maulana).

surat undangan terlampir

Para pembicaranya cukup professional diantaranya dari Dosen UIN Jakarta, dan dari praktisi lainnya.  Sebagia ketua pelaksana bapak Doni menyampaikan salam sambutannya: “Mari kita buktikan bahwa masyarakat DKI Jakarta mampu menjaga kesatuan dan merawat Kebhinekaan, ” harapnya.

“Karena DKI Jakarta membutuhkan hal tersebut karena tantangannya dua tahun kedepan, memasuki tahun politik, ” Pungkas Dodi.

Mengapa Penting Moderasi Beragama?

Ini adalah sebuah pertanyaan yang sering diajukan: mengapa kita, bangsa Indonesia khususnya, membutuhkan perspektif moderasi dalam beragama?

Secara umum, jawabannya adalah karena keragaman dalam beragama itu niscaya, tidak mungkin dihilangkan. Ide dasar moderasi adalah untuk mencari persamaan dan bukan mempertajam perbedaan. Jika dielaborasi lebih lanjut, ada setidaknya tiga alasan utama mengapa kita perlu moderasi beragama:

Gambar: para panitia Moderasi beragama Pakis

Pertama, salah satu esensi kehadiran agama adalah untuk menjaga martabat manusia sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan, termasuk menjaga untuk tidak menghilangkan nyawanya. Itu mengapa setiap agama selalu membawa misi damai dan keselamatan. Untuk mencapai itu, agama selalu menghadirkan ajaran tentang keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan; agama juga mengajarkan bahwa menjaga nyawa manusia harus menjadi prioritas; menghilangkan satu nyawa sama artinya dengan menghilangkan nyawa keseluruhan umat manusia. Moderasi beragama menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Orang yang ekstrem tidak jarang terjebak dalam praktik beragama atas nama Tuhan hanya untuk membela keagungan-Nya saja seraya mengenyampingkan aspek kemanusiaan. Orang beragama dengan cara ini rela merendahkan sesama manusia “atas nama Tuhan”, padahal menjaga kemanusiaan itu sendiri adalah bagian dari inti ajaran agama.

Sebagian manusia sering mengeksploitasi ajaran agama untuk memenuhi kepentingan hawa nafsunya, kepentingan hewaninya, dan tidak jarang juga untuk melegitimasi hasrat politiknya. Aksi‑aksi eksploitatif atas nama agama ini yang menyebabkan kehidupan beragama menjadi tidak seimbang, cenderung ekstrem dan berlebih-lebihan. Jadi, dalam hal ini, pentingnya moderasi beragama adalah karena ia menjadi cara mengembalikan praktik beragama agar sesuai dengan esensinya, dan agar agama benar-benar berfungsi menjaga harkat dan martabat manusia, tidak sebaliknya.

Kedua, ribuan tahun setelah agama-agama lahir, manusia semakin bertambah dan beragam, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, beraneka warna kulit, tersebar di berbagai negeri dan wilayah. Seiring dengan perkembangan dan persebaran umat manusia, agama juga turut berkembang dan tersebar. Karya-karya ulama terdahulu yang ditulis dalam bahasa Arab tidak lagi memadai untuk mewadahi seluruh kompleksitas persoalan kemanusiaan.

Teks-teks agama pun mengalami multitafsir, kebenaran menjadi beranak pinak; sebagian pemeluk agama tidak lagi berpegang teguh pada esensi dan hakikat ajaran agamanya, melainkan bersikap fanatik pada tafsir kebenaran versi yang disukainya, dan terkadang tafsir yang sesuai dengan kepentingan politiknya. Maka, konflik pun tak terelakkan. Kompleksitas kehidupan manusia dan agama seperti itu terjadi di berbagai belahan dunia, tidak saja di Indonesia dan Asia, melainkan juga di berbagai belahan dunia lainnya. Konteks ini yang menyebabkan pentingnya moderasi beragama, agar peradaban manusia tidak musnah akibat konflik berlatar agama.

Ketiga, khusus dalam konteks Indonesia, moderasi beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan kita dalam merawat keindonesiaan. Sebagai bangsa yang sangat heterogen, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya. Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal, beberapa hukum agama dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin berkelindan dengan rukun dan damai.

Itulah sesungguhnya jati diri Indonesia, negeri yang sangat agamis, dengan karakternya yang santun, toleran, dan mampu berdialog dengan keragaman. Ekstremisme dan radikalisme niscaya akan merusak sendi-sendi keindonesiaan kita jika dibiarkan tumbuh berkembang. Karenanya, moderasi beragama amat penting dijadikan cara pandang.

Selain dari tiga poin besar di atas, dapat juga dijelaskan bahwa moderasi beragama sesungguhnya merupakan kebaikan moral bersama yang relevan tidak saja dengan perilaku individu, melainkan­juga dengan komunitas atau lembaga.

Moderasi telah lama menjadi aspek yang menonjol dalam sejarah peradaban dan tradisi semua agama di dunia. Masing-masing agama niscaya memiliki kecenderungan ajaran yang mengacu pada satu titik makna yang sama, yakni bahwa memilih jalan tengah di antara dua kutub ekstrem dan tidak berlebih-lebihan merupakan sikap beragama yang paling ideal.

Sebagai negara yang plural dan multikultural, konflik berlatar agama sangat potensial terjadi di Indonesia. Kita perlu moderasi beragama sebagai solusi, agar dapat menjadi kunci penting untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang rukun, harmoni, damai, serta menekankan keseimbangan, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun kehidupan secara keseluruhan.

Moderat sering disalahpahami dalam konteks beragama di Indonesia. Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti-tidak teguh pendirian, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh dalam mengamalkan ajaran agamanya. Moderat disalahpahami sebagai kompromi keyakinan teologis beragama dengan pemeluk agama lain.

Seorang yang moderat seringkali dicap tidak paripurna dalam beragama, karena dianggap tidak menjadikan keseluruhan ajaran agama sebagai jalan hidup, serta tidak menjadikan laku pemimpin agamanya sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupan. Umat beragama yang moderat juga sering dianggap tidak sensitif, tidak memiliki kepedulian, atau tidak memberikan pembelaan ketika, misalnya, simbol-simbol agamanya direndahkan.

Anggapan keliru lain yang lazim berkembang di kalangan masyarakat adalah bahwa berpihak pada nilai-nilai moderasi dan toleransi dalam beragama sama artinya dengan bersikap liberal dan mengabaikan norma-norma dasar yang sudah jelas tertulis dalam teks-­teks keagamaan, sehingga dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, mereka yang beragama secara moderat sering dihadapkan secara diametral dengan umat yang dianggap konservatif dan berpegang teguh pada ajaran agamanya.

Kesalahpahaman terkait makna moderat dalam beragama ini berimplikasi pada munculnya sikap antipati masyarakat yang cenderung enggan disebut sebagai seorang moderat, atau lebih jauh malah menyalahkan sikap moderat.

Namun, benarkah pemahaman moderat seperti itu? Dan benarkah bahwa bersikap moderat dalam beragama berarti menggadaikan keyakinan ajaran agama kita demi untuk menghargai keyakinan pemeluk agama lain?

Jawabannya tentu saja tidak. Moderat dalam beragama sama sekali bukan berarti mengompromikan prinsip-prinsip dasar atau ritual pokok agama demi untuk menyenangkan orang lain yang berbeda paham keagamaannya, atau berbeda agamanya. Moderasi beragama juga bukan alasan bagi seseorang untuk tidak menjalankan ajaran agamanya secara serius. Sebaliknya, moderat dalam beragama berarti percaya diri dengan esensi ajaran agama yang dipeluknya, yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang, tetapi berbagi kebenaran sejauh menyangkut tafsir agama.

penutupan acara kegiatan moderasi beragama

suasana di Hotel Sentral Cawang

 

Sumber berita:

IAIN Pare

About Miswan M.Pd

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *