BUKTI KEMAKSUMAN RASULULLAH

Gambar: https://3.bp.blogspot.com/

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ، أَمَرَ بِالصِّدْقِ وَالْإِخْلَاصِ وَنَهَى عَنِ الشِّرْكِ وَالنِّفَاقِ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحّمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَلصَّادِقُ الأَمِيْنُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا.

Jamak diketahui bahwa seluruh nabi diberi predikat ‘ishmah (terjaga dari kekeliruan dan dosa). Wabilkhusus rasulullah SAW, sebagai Nabi dan Rasul terakhir, juga mendapatkan keistimewaan ini. Alquran pun mengabadikan keterjaga an beliau, dan tiadalah yang diucap kannya itu (Alquran) menurut kemauan hawa nafsunya (QS 53: 3). Bila demikian, bukankah Allah SWT pernah menegurnya ketika berpaling dari Abdullah ibnu Ummi Maktum?

Ibn Katsir dalam tafsirnya me nuturkan, Rasulullah SAW di suatu hari sedang berbicara dengan pem besar Quraisy, di antaranya Atabah bin Rabi’ah, Abu Jahal ibnu Hisyam, dan al-Abbas ibnu Abdul Muttalib. Beliau menginginkan mereka masuk Islam.

Ketika beliau sedang berbicara dengan suara perlahan dengan orang Quraisy itu, tiba-tiba datanglah Abdullah ibnu Ummi Maktum seorang lelaki tunanetra dengan berjalan kaki. Lalu, Abdullah ibnu Ummi Maktum meminta agar diajari suatu ayat dari Alquran dan berkata, “Wahai Rasulullah, ajarilah aku dengan apa yang telah Allah ajarkan kepadamu.” Rasulullah berpaling dan bermuka masam terhadapnya serta tidak melayaninya, bahkan beliau kembali melayani mereka.

Setelah Rasulullah selesai dari pembicaraan tersebut dan hendak pulang ke rumah, maka Allah SWT menahan pandangannya dan menja dikan kepala beliau tertunduk, lalu turunlah ayat, “Dia (Muhammad) ber muka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) atau dia (ingin) mendapatkan penga jaran, lalu pengajaran itu memberi kan manfaat kepadanya?” (QS 80: 1-4).

Dalam kitab Hujjiyyatu Af’ali Rasulillah, Muhammad ‘Awwamah menegaskan, setidaknya ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, dalam surah ini pula Allah SWT ber fir man, “Ingatlah tidak demi kian, se sungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.” (QS 80: 11).

Kedua, Allah SWT berfirman menggunakan maqam ghaibah (‘abasa watawalla an jaa-ahul a’maa), bukan maqam khitab (‘abasta watawalayta an jaakal a’maa). Bila berisi kecaman, harusnya menggunakan gaya bahasa khitab, bukannya ghaibah.

Gaya bahasa semacam ini disebut iltifat, perpindahan uslub bahasa dari khitab kepada ghaibah (wal iltifatu wahuwal intiqalu min ba’dhil asalibi ‘ila ba’dhin qamin). Demikianlah Allah SWT menegaskan kemaksuman Rasul tercinta-Nya. Ke-ishmahan-nya, membuktikan bahwa Rasulullah senantiasa dibimbing dan dididik oleh Allah SWT dengan sebaik-baik pengajaran. Wallahu a’lam.

About Miswan M.Pd

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *